Antara Produktivitas Ekonomi dan Optimalisasi Zakat

Zakat adalah salah satu kewajiban umat Islam terpenting dan merupakan pilar tegaknya agama Islam. Siapapun yang telah memiliki harta kekayaan melewati nishob (batas minimal) dan telah memenuhi haul (putaran masa) wajib untuk membayarkan zakat harta tersebut. Begitu pentingnya kewajiban membayar zakat ini bagi tegaknya Islam, sampai – sampai Khalifah Abu Bakar memerangi qabilah yang menolak membayar zakat.

Di Kaltim sendiri, menurut Ketua Bazda Kaltim, Drs H Hamri, potensi zakat sebenarnya cukup besar yaitu 100 miliar tiap tahun. Namun potensi tersebut belum tergarap maksimal dan realisasinya hanya mencapai 10 milyar saja. ”Kendala ini menyebabkan perlu kiranya pengumpulan zakat didukung dengan Perda,” tegas beliau. Pernyataan beliau pun diamini oleh beberapa anggota DPRD Kaltim  (dprd.kaltimprov.go.id).

 Usulan seperti ini sebenarnya bukan hal baru dalam sistem Islam. Sebab ”amil” dalam sistem Islam adalah sebutan untuk jabatan setingkat bupati pada masa sekarang dimana salah satu tugasnya adalah menarik dan menyalurkan zakat. Jadi, amil zakat di masa Rasulullah SAW dan khilafah Islamiyah tidak lain adalah representasi dari sultan / pusat kekuasaan. Para amil ini bergerak kesana kemari menarik harta zakat dari orang-orang kaya. Jadi bukan umat yang datang kepada amil, melainkan mereka didatangi para amil. Karena itulah amil punya hak atas harta zakat ini dengan dasar At-Taubah : 60. Dan tentu saja amil memiliki kekuatan pendukung (seperti dukungan polisi) untuk mengambil zakat dari orang orang yang wajib menuaikan zakat.

Bila pemerintah belum mampu menarik zakat dengan sempurna, maka sudah sewajarnya pemerintah berterimakasih kepada lembaga lembaga zakat yang ada dan membantu mereka. Sebab mereka setidaknya mengurangi dosa pemerintah akibat tidak mampu menjalankan tugas mengambil zakat (bukan meminta apalagi menunggu) sebagaimana yang diperintahkan dalam Surat At-Taubah : 103

Di sisi lain, bazda ataupun lembaga amil zakat masa sekarang memiliki problem didalam memutuskan penyaluran zakat, apakah dengan pemberian tunai atau dalam bentuk bantuan produktif ? Ada yang memutuskan sebagian dari dana zakat digunakan untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga bantuan usaha bergulir. Ada pula fatwa tentang jenis/ mekanisme baru perzakatan yang dahulu tidak pernah diutarakan oleh imam mazhab. Semua hal diatas pada hakekatnya berangkat dari upaya untuk mencari solusi bagi masalah ekonomi masyarakat melalui mekanisme zakat.

Solusi diatas sebenarnya jauh dari penyelesaian pokok masalah itu sendiri yaitu peningkatan kesejahteraan ekonomi umat, dan baru berkutat pada masalah solusi interim saja, tidak menghilangkan masalahnya itu sendiri. Sebab seberapa besar dana zakat yang diperoleh tentu tidak sebanding dengan jumlah pajak yang diterima pemerintah dari pertambangan, perniagaan, kehutanan, jasa dan lain sebagainya. Namun toh pendapatan yang jauh lebih besar dari zakat itu ternayta tidak mampu mensejahterakan ekonomi masyarakat.

Setelah diamati, maka sesungguhnya masalah pokok dari masalah ekonomi masyarakat bukanlah sekedar masalah kelangkaan barang dan jasa, namun lebih ke masalah distribusi. Ketersediaan barang dan jasa secara kasat mata terlihat cukup memenuhi kebutuhan masyarakat, namun barang dan jasa itu ternyata tidak mampu dijangkau oleh masyarakat itu sendiri.

Dan problem ini memang secara alami terjadi pada sistem masyarakat yang menggunakan paham ekonomi kapitalisme liberalisme yang dari awal pembentukannya dibangun dari pondasi pondasi yang merusak dan menghambat kemajuan ekomomi masyarakat itu sendiri, yaitu: (1) menghalalkan riba (2) bertumpu pada sektor ekonomi non riel, seperti bursa saham, jual beli valas, dll (3) menghalalkan penimbunan modal sehingga terjadi kelangkaan modal (4) individu boleh menguasai kepemilikan umum /negara sehingga terjadi kapitalisasi SDA (5) mengandalkan GDP/GNP sebagai tolak ukur kemajuan ekonomi (6) tidak mengenal halal haram, hanya mengenal azas manfaat (7) tidak menggunakan standard uang yang fix yaitu emas/perak

Sesungguhnya solusi untuk mensejahterakan ekonomi masyarakat sudah sangat jelas, yaitu kembali pada tatanan syariat Islam yang terbukti mensejahterakan manusia selama 14 abad, dan meninggalkan sistem kapitalisme liberalisme yang merusak. Contoh ekstrim: bila riba dilarang dan penimbunan modal dikenakan zakat, maka masyarakat tidak akan tertarik untuk menyimpan uang di bank, akhirnya dia akan mencari cara untuk menggunakan uangnya dengan jalan investasi ke berbagai bidang ekonomi riel, atau setidaknya mereka akan memanfaatkan uangnya untuk pembelanjaan konsumtif ataupun untuk ber-infaq/sedekah. Kebijakan ini tentu saja akan menyebabkan kegiatan ekonomi menjadi bergairah, sektor usaha akan banyak terbuka, perdagangan akan semakin ramai dan tenaga kerja pun akan semakin banyak terserap. Ini baru satu kasus saja dari sistem ekonomi Islam, belum bila semuanya diterapkan.

Karena itu, bila masyarakat mengadopsi sistem ekonomi Islam secara utuh serta dengan didukung oleh aparat yang jujur dan ikhlas, maka tidak menutup kemungkinan prestasi Umar bin Abdul Azis yang mengentaskan krisis ekonomi dalam waktu singkat terulang kembali. Masyarakat akan ma’mur dengan sendirinya akibat berputarnya roda ekonomi dengan lancar.

Gambaran kondisi krisis multidimensi sekarang ini dan labilitas ekonomi sosial yang mendera masyarakat akibat sistem liberalisme ini sebenarnya telah digambarkan di dalam Surat Al-Baqoroh 275 : ”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Akibat riba, maka ekonomi dan kehidupan umat menjadi kacau balau. Riba adalah kejahatan terbesar yang harus dihapuskan, sebab merupakan pangkal dari segala kerusakan ekonomi. Tidak heran bila Rasulullah SAW bersabda: Jika telah tampak nyata zina dan riba di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan sendiri (turunnya) azab Allah (kepada mereka) (Hr Al-Hakim).

Karenanya, bila pemerintah dan juga ormas ormas memang serius untuk menuntaskan masalah ekonomi masyarakat, maka jalan paling efektif adalah mengganti sistem ekonomi kapitalis dengan sistem ekonomi Islam. Dan sebagaimana hadits diatas, pemerintah dalam waktu bersamaan juga harus menyelesaikan semua masalah sosial, mengatasi masalah birokrasi dan administrasi yang berbelit belit dan sarat kepentingan sesaat, mengatasi masalah kepastian hukum, masalah pendidikan, politik dan lain sebagainya. Semua aspek tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi, tidak bisa problem dalam satu aspek diselesaikan secara parsial dan ataupun tumpang tindih, tapi harus dengan penyelesaian yang terintegerasi. Penyelesaian masalah ekonomi tanpa dibarengi dengan penyelesaian masalah aqidah, hukum, sosial, politik adalah hal yang mustahil.

Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa solusi fundamental dari permasalahan ekonomi masyarakat adalah penerapan syariat Islam secara utuh menyeluruh, tidak separuh separuh. Semua komponen masyarakat mesti sadar untuk bergerak ke arah sana. Boleh setiap masalah diselesaikan berdasarkan urgensitas-nya, namun harus tetap mengacu pada roadmap untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wallahu a’lam
dimuat di Rubrik Opini Kaltimpost 9 Oktober 2007