Allah SWT berfirman “Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu” (QS 2 : 153)
Di era konsumerisme dan didorong oleh iklan iklan yang memajang di jalan, radio, koran, televisi dan lain sebagainya maka setiap orang pasti tergiur untuk menikmati atau memiliki hal hal yang menggoda setiap saat tersebut berupa harta, makanan, pakaian, properti, kendaraan, lawan jenis, bertamasya dan lain sebagainya. Tidak ada batas kepuasan hingga Rasulullahpun mengisyaratkan andaikan manusia diberi satu gunung emas maka dia akan minta satu gunung emas lagi dan seterusnya.
Namun Allah SWT juga telah menyampaikan kepada manusia bahwa dunia ini sangatlah remeh dan tidak ada apa apanya dibandingkan dengan sorga yang luas dan indahnya tak terbayangkan oleh manusia, yang hanya disediakan bagi mereka yang beriman dan bertaqwa. Allah SWT juga menyampaikan bahwa Dia telah menyediakan neraka bagi siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya baik itu karena dosa kecil atau karena dosa besar.
Karena adanaya sorga dan neraka itu, maka sesungguhnya kemenangan tertinggi manusia bukan karena menang di dunia ini seperti menjuarai turnamen sepakbola, golf, balap mobil dan adu ketangkasan lainnya. Kemenangan tertinggi manusia adalah berhasil mendapatkan tiket ke sorga tanpa hisab. Itulah kemenangan sejati di dunia ini. Segala hal indah yang ada di dunia ini adalah bekal sekaligus ujian untuk mendapatkan kemenangan sejati itu. Manusia harus bersabar dari menikmati dunia secara liar ini untuk meraih kemenangan tersebut. Manusia harus tertib dan teratur guna tercapati kebahagiaan duni dan akhirat.
Sabar maknanya tidak sama dengan pasrah. Makna sabar tergantung pada keadaan yang membutuhkan sabar itu sendiri, yaitu : Pertama, sabar dalam menghadapi bala/musibah Pada saat menghadapi bala/musibah maka yang dituntut adalah kepasrahan kita terhadap taqdir Allah SWT dan berusaha bangkit kembali menuju keadaan semula. Allah SWT tidak menghendaki kita menjadi pesimis menjalani kehdipan masa depan sebab diberikannya bala/musibah pada kita
Kedua, sabar dalam melaksanakan ketaatan yaitu tetap berjuang dan menyingkirkan rasa malas ataupun halangan fisik/batin lainnya untuk mengerjakan kewajian dari Allah berupa fardhu ain ataupun fardhu kifayah seperti kewajiban bekerja, menuaikan sholat, membayar zakat, berpuasa, menutup aurot, mendakwahkan syariat Islam dan menjalankannya, berjihad dan lain sebagainya termasuk diantaranya adalah abar dalam bersabar itu sendiri.
Ketiga, sabar dalam menghindari diri dari berbuat dosa yaitu menahan diri dari melakukan hal hal yang Allah SWT larang seperti berpacaran, berzina, berjudi, mencuri, korupsi, makan babi, minum khamr, mengambil harta orang lain tanpa haq ataupun melakukan kebaikan namun dengan cara yang tidak benar seperti sholat, puasa, zakat, dakwah, jihad tanpa mengikuti rukun rukun yang ditentukan oleh Allah SWT dan nabinya.
Ringkasnya, sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikh Abu Rusyta dalam Taysir fii Ushulit-Tafsir, beliau menjelaskan bahwa makna sabar adalah berkata/berbuat benar – fi sabilillah – dan menanggung cobaan sebagai resikonya tanpa harus menyimpang ataupun melemah karena cobaan tersebut.
Bulan puasa adalah kesempatan bagi kita untuk melatih mengelola kesabaran yang memang merupakan kemampuan emosional tertinggi manusia. Rasulullah SAW bersabda : “Puasa itu adalah Separuh Kesabaran” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Karenanya di bulan puasa ini kita dilatih untuk mengalahkan rintangan rintangan yang mampu menggagalkan sahnya puasa seperti tegar dari cuaca panas yang menerpa dan kitapun berlatih menghinari dari sebab yang bisa membatalkan pahal puasa seperti marah, menggunjing, memperlihatkan aurot, korupsi dan kita pun bahkan menambah kebaikan dengan sholat malam, berinfaq sedekah dan lain sebagainya guna menjalankan perintah Allah SWT.
Itu semua adalah upaya kita untuk meraih kemenangan puasa dan sebagai bekal untuk mengalahkan rintangan pada bulan bulan selanjutkan untuk menjalankan ketaatan yang lebih besar dan menanggung segala resiko dari mengerjakan ketaatan itu. Karena itu maka sebagai puncaknya tradisi sholat malam harus tetap kita jalankan sebagai wahana berkomunikasi dengan Allah SWT agar tetap terus mampu menjalankan ketaatan atau melaporkan rintangan dan bencana fisik/batin yang menimpa saat menjalankan ketaatan ketaatan tersebut.
Wallahu A’lam Wallahu Musta’an.