Menempatkan ranting/bunga basah di atas kuburan untuk meringankan siksa atas mayit

Mencoba menterjemahkan dari artikel https://www.islamweb.net/ar/fatwa/24505/وضع-الأغصان-الرطبة-على-القبر-محل-خلاف . Bila kurang pas mohon saran perbaikannya dari sumber asli diatas …

Menempatkan ranting basah di atas kuburan adalah persoalan khilafiyah

Tanggal 27 Sya’ban 1423 H / 11 Februari 2002 M

Pertanyaan:
Saya ingin Anda memberi saya jawaban yang jelas terhadap hukum meletakkan bunga dan tanaman di kuburan, dimana mereka yang membolehkan hal tersebut berdalil dengan (hadits bahwa) Rasulullah SAW membagi separuh-separuh (ranting/kurma) dan meletakkan tiap potongan diatas kuburan dan Beliau SAW berkata, “Semoga siksa keduanya diringankan selama tanaman ini belum kering”. Semoga Allah SWT membalas Anda dengan kebaikan.

Jawaban :
Alhamdulillah, sholawat dan salam bagi Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya.

Pokok dari pertanyaan yang dilemparkan adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA dalam sahihain dan selainnnya, dimana Beliau RA berkata: Rasulullah SAW melewati perkebunan penduduk Madinah atau Makkah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang di siksa dalam kubur mereka. Maka Nabi SAW pun berkata: “Keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan dosa besar.” Lalu beliau menerangkan: “Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya lagi disiksa karena suka mengadu domba.” Beliau kemudian minta diambilkan sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelah menjadi dua bagian, kemudian beliau menancapkan setiap bagian pada dua kuburan tersebut. Maka beliau pun ditanya, “Kenapa Tuan melakukan ini?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan siksanya diringankan selama dahan itu masih basah.”

Para ulama sangat berbeda pendapat dan sangat beragam tentang terkait makna yan dikehendaki dari meletakkan dua tangkai tersebut

Continue reading

Hadits Dhoif – Menasehati Penguasa Dengan Diam Diam

أحاديث ــ سرية النصيحة ــ رواية ودراية

Hadits menasehati dengan diam diam – riwayat dan diroyat

بسم الله الرحمن الرحيم

( أحاديث ــ سرية النصيحة ــ رواية ودراية )

أخرج أحمد في المسند (3/404) { جلد عياض بن غنم صاحب دارا ــ رجل من أهل الذمة ــ حين فتحت ، فأغلظ له هشام بن حكيم القول حتى غضب عياض ، ثم مكث ليالي فأتاه هشام فاعتذر إليه ، وقال هشام لعياض: ألم تسمع النبي ــ صلى الله عليه وسلم ــ يقول :” إن من أشد الناس عذاباً أشدهم عذاباً في الدنيا للناس “فقال عياض: ياهشام ألم تسمع رسول الله ــ صلى الله عليه وسلم ــ يقول ” من أراد أن ينصح لذي سلطان بأمر فلا يبد له علانية وليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه

Imam Ahmad dalam musnad 3/304 mengeluarkan hadits “Iyadh tengah menjlid seorang penduduk dari ahlu dzimah ketika penaklukan, maka Hisyam bin Hakim meninggikan suaranya (mengecamnya) hingga marahlah Iyadh. Selanjutnya (Hisyam) tinggal berapa malam kemudian mendatanginya (Iyadh) dan memperingatkan Hisyam : “Apakah engkau tidak mendengar bahwa Nabi SAW telah bersabda : Sesunggunya yang paling keras siksanya dihari kiamat adalah mereka yang paling keras siksanya di dunia kepada manusia” Maka Iyadpun berkata : “Ya Hisyam apakah engkau juga tidak mendengar bahwa rasulullah SAW bersabda : Siapa yang hendak menasehati penguasa maka jangan menampakkannya terang terangan, namun hendaklah menarik tangannya lalu menyendiri (menasehatinya). Kalau dia menerima maka itulah (yg diharapkan), dan bila dia menolak maka sungguh kau telah melaksanakan tugasmu”

وروى هذا الحديث ابن أبي عاصم في السنة (2/521) بثلاثة طرق كلها لم تصح ، الأول منها في إسناده ــ كما هو في المسند ومعرفة الصحابة لأبي نعيم (4/18) ــ شرحبيل بن عبيد الحضرمي تابعي ثقة يرسل كثيراً ( التقريب 1/349) ، وفيه أيضاً بقية بن الوليد له غرائب ومناكير لا يحتج به ( الميزان 1/339)

Yang meriwayatkan hadits ini adalah Abi Ashim di sunnahnya (2/251) dengan tiga jalur yang semuanya tidak sahih. Yang pertama dari sanadnya sebagaimana di musnad dan diketahui dari Sahabat dari Abu Hatim (4/18) Syuraih bin ‘Ubaid Al Hadlromi tabiin tsiqoh namun kebanyakan mursal (taqrib 1/349) dan disana juga ada baqyah bin walid yang padanya sering ghoring dan mungkar dan tidak bisa digunakan sebagai hujah “

artikel baru April 2017 : Ibnu Umar RA mengkritik penguasa terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi Continue reading

Tidak jelasnya hukum syara tentang menabung di Bank Syariah !!!

Hehehe … provokatif banget judulnya. Tapi memang begitu, jangan menabung di bank syariah sampai anda tahu benar makna tabungan atau menabung itu sendiri. Kalau menabung di celengan rumah atau di bawah bantal sudah jelas, yaitu menaruh di tempat kita sendiri, tidak melibatkan orang lainnya sehingga tidak masuk dalam cakupan istilah muamalah. Kalau menabung di bank Ribawi yang dengan bunga, tentu gak usah dibahas panjang lebar disini, cukup satu kata : Haram ! (yang ngotot halal ya silahkan saja mempertanggung-jawabkan pendapatnya tersebut di hari kiamat) [ notes : saya garis bawahi kemudian di bold kata2 “yang dengan bunga”, sebab ternyata ada Bank Ribawi yang bisa menghapuskan item riba, untuk detailnya tanyakan pada CS bank tsb apakah bisa menghapus item riba-nya]

Sedangkan “menabung” di bank itu tentu melibatkan pihak kedua yaitu bank itu sendiri sehingga terkategori sebagai aktivitas muamalah. Dalam muamalah harus jelas hukumnya, apakah menabung di bank masuk kategori (1) menitipkan uang ke Bank ? atau (2) meminjamkan uang kepada Bank ? atau (3)  menghutangi si Bank ? atau  (4) menginvestasikan uang untuk diolah bank tersebut ?

Semisal seorang laki dan wanita berumah tangga, harus jelas apakah aktivitas ber-rumah tangga itu merupakan nikah atau sekedar kumpul kebo. Jadi istilah berumah tangga itu sendiri harus jelas aktivitasnya, karena beda aktivitas tentu beda konsukuensinya.

Demikian pula dalam “menabung”, konsukuensi (hak/kewajiban) antara menitipkan tentu berbeda dengan menghutangi. Barangkali diantara kita ada yang berkata : “kan sama saja, yang penting naruh uang lalu kembali sejumlah itu + keuntungannya”. Ya, ini adalah akibat dari pemikiran yang tidak tahu atau tidak peduli bagaimana Syariat Islam mengatur masalah muamalah, karena walupun sama-sama menghasilkan anak yang membahagiaan rumah tangga, namun nikah dan kumpul kebo tentu beda hukum dan konsukuensi di dunia dan di akherat.

Tulisan ringkas ini mencoba menyajikan mendetailkan makna terselubung dari istilah menabung serta sedikit menyajikan konsukuensi dari beberapa hukum muamalah yang biasanya dianggap orang masuk dalam pengertian menabung :

1.    Menitipkan

Dalam fiqh, akad mentipkan disebut sebagai akad Wadi’ah yaitu “Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”. Akad ini pada dasarnya adalah akad tolong menolong, bukan akad imbal jasa dengan upah (ijaroh)

Continue reading

Pemahaman saya tentang Hadits Hudzaifah : Dukhan, Duat Ilaa Abwabi Jahannam & Itazilu Firqah (Asap, Penyeru ke Pintu Neraka, Menjauhi Firqah)

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

”Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan.Sedangkan aku bertanya kepada beliau saw mengenai keburukan, karena khawatir keburukan itu akan menimpaku.Aku bertanya, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya, kami dahulu berada di masa jahiliyyah dan keburukan.Lalu, Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini.Lantas, apakah setelah kebaikan ini akan datang keburukan?Nabi saw menjawab, ”Ya”. Saya bertanya lagi,”Apakah setelah keburukan itu akan ada kebaikan? Nabi saw menjawab, ”Ya, dan di dalamnya terdapat ”dukhan (asap/kotoran)”Aku bertanya, ”Apa asap itu?” Beliau menjawab, ”Kaum yang memberi petunjuk bukan dengan petunjukku; yang mana kamu mengenal mereka, dan kamu akan mengingkari”.Aku bertanya lagi, ”Apakah setelah kebaikan itu akan datang keburukan lagi? Nabi saw menjawab, ”Ya, orang-orang yang mengajak ke pintu-pintu neraka.Siapa saja yang menerima ajakan mereka menuju pintu-pintu neraka, mereka akan melemparkannya ke dalam neraka”.Aku bertanya lagi, ”Ya Rasulullah, beritahukanlah sifat-sifat mereka kepada kami”.Nabi saw menjawab, ”Mereka memiliki kulit yang sama dengan kita, dan berbicara dengan bahasa-bahasa kita”.Aku bertanya lagi, ”Apa yang engkau perintahkan kepada kami, jika hal itu menimpaku?Nabi saw menjawab, ”Tetapilah jama’at al-Muslimiin dan imam mereka”.Aku bertanya, ”Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam”.Nabi saw bersabda, ”Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.[HR. Bukhari Muslim]

Dalam hadits di atas ada dua hal yang Allah dan RasulNya perintahkan kepada kita untuk mewaspadai dua golongan orang yaitu dakhonun (asap/bau) dan du’at ilaa abwabi jahanam atau penyeru pada pintu neraka  serta memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada imam dan jamaah serta menghindari firqah manakala tidak ada imam dan jama’ahnya.

1.      Mewaspadai adanya dukhon (دَخَنٌ) atau asap/bau

دَخَنٌ (asap/bau) yang dimaksud dalam hadits di atas diterangkan maknanya pada anak kalimat berikutnya yaitu قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْي  suatu kaum yang memberi petunjuk selain dengan petunjukku. Menurut hemat saya yang dhoif ini yang dimaksud adalah orang orang yang bukan dari  umat Islam seperti yahudi, nasrani, hindu, budha dan lain lain. sebab disitu Rasulullah SAW menggunakan kata قَوْمٌ  atau golongan tidak menggunakan kata sekelompok umatku dan sebagainya. Kepada mereka ini insyaAllah umat Islam akan mengenal betul dan susah mengidentifikasi mereka sebab mereka memang benar benar bukan umat Islam. Hal itu diperkuat dengan lanjutan hadits tersebut تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ  kamu mengenali mereka dan kalian mengingkarinya, yaitu karena tahu benar ciri mereka beda dengan umat Islam.

Apa istimewanya sehingga disebut khusus sebagai dukhon ? Continue reading

Hadits Hadits Motivasi Menuntut dan Menyebarkan Ilmu

diambil dari hadits Tirmidzi di lidwa.com/app bab Ilmu

Sesungguhnya orang yang menunjuki kebaikan, sama (pahalanya) dengan orang yang melakukan itu  (hasan sahih)

إِنَّ الدَّالَّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ

Seorang yang faqih itu lebih berat bagi setan daripada seribu orang ahli ibadah. (gharib – dhaif)

فَقِيهٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ

Barangsiapa yang di kehendaki Allah kebaikan padanya, niscaya Dia memahamkannya dalam agama (hasan sahih)

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barangsiapa yang sengaja berbohong atas namaku maka hendaklah mempersiapkan tempat duduknya di neraka. (sahih – mutawatir)

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Barangsiapa berjalan di suatu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. (hasan)

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Barang siapa yang belajar ilmu maka itu adalah kafarat bagi apa yang pernah lalu (dhaif)

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفُ الْإِسْنَادِ

Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui kemudian dia menyembunyikannya, maka dia akan dicambuk pada hari kiamat dengan cambuk dari neraka (hasan)

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

Barangsiapa belajar Ilmu untuk selain Allah atau menginginkan selain Allah, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya (kelak) di neraka (hasan)

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِغَيْرِ اللَّهِ أَوْ أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللَّهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Kalimat hikmah adalah barang seorang mukmin yang hilang, maka dimana saja ia menemukannya ia lebih berhak untuk mengambilnya (gharib – dhoif)

الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Barangsiapa menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku dan barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku di surga (hasan gharib)

وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ

Barangsiapa menuntut ilmu untuk mendebat para ulama, atau untuk mengolok-olok orang bodoh atau untuk mengalihkan pandangan manusia kepadanya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka (dhaif)

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya langsung dari manusia, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, hingga ketika Dia tidak meninggalkan seorang alim (di muka bumi) maka manusia menjadikan orang-orang jahil sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, maka mereka memberikan fatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan. (sahih)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataanku, dia memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya, bisa jadi orang yang mengusung fiqih menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya. Dan tiga perkara yang mana hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya; mengikhlaskan amalan karena Allah, saling menasehati terhadap para pemimpin kaum muslimin, berpegang teguh terhadap jama’ah mereka, sesungguhnya da’wah meliputi dari belakang mereka.” (sahih)

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ

Barangsiapa menyeru kepada petunjuk maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun, dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun“. ( hasan shahih)

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ يَتَّبِعُهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ يَتَّبِعُهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa mensunnahkan sunnah kebaikan, lalu dia diikuti atasnya, maka dia mendapatkan pahalanya dan seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun, dan barangsiapa mensunnahkan sunnah kejelekan, lalu dia diikuti atasnya, maka dia mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun (hasan sahih)

مَنْ سَنَّ سُنَّةَ خَيْرٍ فَاتُّبِعَ عَلَيْهَا فَلَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِ مَنْ اتَّبَعَهُ غَيْرَ مَنْقُوصٍ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةَ شَرٍّ فَاتُّبِعَ عَلَيْهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِ مَنْ اتَّبَعَهُ غَيْرَ مَنْقُوصٍ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

Keutamaan seorang alim dari seorang abid seperti keutamaanku dari orang yang paling rendah di antara kalian,  kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Sesungguhnya Allah, MalaikatNya serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia” (gharib – sahih)

فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

Aku wasiatkan kepada kalian untuk (selalu) bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at meskipun terhadap seorang budak habasyi, sesungguhnya siapa saja diantara kalian yang hidup akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya hal itu merupakan kesesatan. Barangsiapa diantara kalian yang menjumpai hal itu hendaknya dia berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham.(sahih)

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذ

faf

Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Qur`an dan mengajarkannya (HR Bukhari) خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Barangsiapa berbicara tentang Kitabullah ‘azza wajalla menggunakan pendapatnya, meskipun benar maka ia telah salah.” (HR Abu Daud) – ada perawi yang tidak kuat مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Demi Allah, sekiranya Allah memberi petunjuk kepada seorang laki-laki melalui perantaramu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah.” (HR Ibnu Majah, Abi Daud) وَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِهُدَاكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Dunia itu terlaknat dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan yang berhubungan dengannya, atau seorang yang ‘alim dan mengajarkan ilmunya. (HR Ibnu Majah 4102) الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya Surga pada Hari Kiamat. (HR Ahmad, Abi Daud, Ibn Majah) مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Perumpamaan agama yang aku diutus Allah ‘azza wajalla dengannya, yaitu berupa petunjuk dan ilmu ialah bagaikan hujan yang jatuh ke bumi. Diantaranya ada yang jatuh ke tanah subur yang dapat menyerap air, maka tumbuhlah padang rumput yang subur. Diantaranya pula ada yang jatuh ke tanah keras sehingga air tergenang karenanya. Lalu air itu dimanfaatkan orang banyak untuk minum, menyiram kebun dan beternak. Dan ada pula yang jatuh ke tanah tandus, tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Seperti itulah perumpamaan orang yang mempelajari agama Allah dan mengambil manfaat dari padanya, belajar dan mengajarkan, dan perumpamaan orang yang tidak mau tahu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku di utus dengannya.” HR Bukhari Muslim إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ 

 

 

Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Qur`an dan mengajarkannya (HR Bukhari)

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Barangsiapa berbicara tentang Kitabullah ‘azza wajalla menggunakan pendapatnya, meskipun benar maka ia telah salah.” (HR Abu Daud) – ada perawi yang tidak kuat

مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ

“Demi Allah, sekiranya Allah memberi petunjuk kepada seorang laki-laki melalui perantaramu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah.” (HR Ibnu Majah, Abi Daud)

وَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِهُدَاكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Dunia itu terlaknat dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan yang berhubungan dengannya, atau seorang yang ‘alim dan mengajarkan ilmunya. (HR Ibnu Majah 4102)

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا

“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya Surga pada Hari Kiamat. (HR Ahmad, Abi Daud, Ibn Majah)

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا

Perumpamaan agama yang aku diutus Allah ‘azza wajalla dengannya, yaitu berupa petunjuk dan ilmu ialah bagaikan hujan yang jatuh ke bumi. Diantaranya ada yang jatuh ke tanah subur yang dapat menyerap air, maka tumbuhlah padang rumput yang subur. Diantaranya pula ada yang jatuh ke tanah keras sehingga air tergenang karenanya. Lalu air itu dimanfaatkan orang banyak untuk minum, menyiram kebun dan beternak. Dan ada pula yang jatuh ke tanah tandus, tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Seperti itulah perumpamaan orang yang mempelajari agama Allah dan mengambil manfaat dari padanya, belajar dan mengajarkan, dan perumpamaan orang yang tidak mau tahu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku di utus dengannya.” HR Bukhari Muslim

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ

 

Ramadhan sebagai Bulan Kemenangan Sejati

Allah SWT berfirman “Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu”  (QS 2 : 153)

Di era konsumerisme dan didorong oleh iklan iklan yang memajang di jalan, radio, koran, televisi dan lain sebagainya maka setiap orang pasti tergiur untuk menikmati atau memiliki hal hal yang menggoda setiap saat tersebut berupa harta, makanan, pakaian, properti, kendaraan, lawan jenis, bertamasya dan lain sebagainya. Tidak ada batas kepuasan hingga Rasulullahpun mengisyaratkan andaikan manusia diberi satu gunung emas maka dia akan minta satu gunung emas lagi dan seterusnya.

Namun Allah SWT juga telah menyampaikan kepada manusia bahwa dunia ini sangatlah remeh dan tidak ada apa apanya dibandingkan dengan sorga yang luas dan indahnya tak terbayangkan oleh manusia, yang hanya disediakan bagi mereka yang beriman dan bertaqwa. Allah SWT juga menyampaikan bahwa Dia telah menyediakan neraka bagi siapa saja yang bermaksiat kepada-Nya baik itu karena dosa kecil atau karena dosa besar.

Karena adanaya sorga dan neraka itu, maka sesungguhnya kemenangan tertinggi manusia bukan karena menang di dunia ini seperti menjuarai turnamen sepakbola, golf, balap mobil dan adu ketangkasan lainnya. Kemenangan tertinggi manusia adalah berhasil mendapatkan tiket ke sorga tanpa hisab. Itulah kemenangan sejati di dunia ini. Segala hal indah yang ada di dunia ini adalah bekal sekaligus ujian untuk mendapatkan kemenangan sejati itu. Manusia harus bersabar dari menikmati dunia secara liar ini untuk meraih kemenangan tersebut. Manusia harus tertib dan teratur guna tercapati kebahagiaan duni dan akhirat.

Sabar maknanya tidak sama dengan pasrah. Makna sabar tergantung pada keadaan yang membutuhkan sabar itu sendiri, yaitu : Pertama, sabar dalam menghadapi bala/musibah  Pada saat menghadapi bala/musibah maka yang dituntut adalah kepasrahan kita terhadap taqdir Allah SWT dan berusaha bangkit kembali menuju keadaan semula. Allah SWT tidak menghendaki kita menjadi pesimis menjalani kehdipan masa depan sebab diberikannya bala/musibah pada kita

Kedua, sabar dalam melaksanakan ketaatan yaitu tetap berjuang dan menyingkirkan rasa malas ataupun halangan fisik/batin lainnya untuk mengerjakan kewajian dari Allah berupa fardhu ain ataupun fardhu kifayah seperti kewajiban bekerja, menuaikan sholat, membayar zakat, berpuasa, menutup aurot, mendakwahkan syariat Islam dan menjalankannya, berjihad dan lain sebagainya termasuk diantaranya adalah abar dalam bersabar itu sendiri.

Ketiga, sabar dalam menghindari diri dari berbuat dosa yaitu menahan diri dari melakukan hal hal yang Allah SWT larang seperti berpacaran, berzina, berjudi, mencuri, korupsi, makan babi, minum khamr, mengambil harta orang lain tanpa haq ataupun melakukan kebaikan namun dengan cara yang tidak benar seperti sholat, puasa, zakat, dakwah, jihad tanpa mengikuti rukun rukun yang ditentukan oleh Allah SWT dan nabinya.

Ringkasnya, sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikh Abu Rusyta dalam Taysir fii Ushulit-Tafsir, beliau menjelaskan bahwa makna sabar adalah berkata/berbuat benar – fi sabilillah – dan menanggung cobaan sebagai resikonya tanpa harus menyimpang ataupun melemah karena cobaan tersebut.

Bulan puasa adalah kesempatan bagi kita untuk melatih mengelola kesabaran yang memang merupakan kemampuan emosional tertinggi manusia. Rasulullah SAW bersabda : “Puasa itu adalah Separuh Kesabaran” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Karenanya di bulan puasa ini kita dilatih untuk mengalahkan rintangan rintangan yang mampu menggagalkan sahnya puasa seperti tegar dari cuaca panas yang menerpa dan kitapun berlatih menghinari dari sebab yang bisa membatalkan pahal puasa seperti marah, menggunjing, memperlihatkan aurot, korupsi dan kita pun bahkan menambah kebaikan dengan sholat malam, berinfaq sedekah dan lain sebagainya guna menjalankan perintah Allah SWT.

Itu semua adalah upaya kita untuk meraih kemenangan puasa dan sebagai bekal untuk mengalahkan rintangan pada bulan bulan selanjutkan untuk menjalankan ketaatan yang lebih besar dan menanggung segala resiko dari mengerjakan ketaatan itu. Karena itu maka sebagai puncaknya tradisi sholat malam harus tetap kita jalankan sebagai wahana berkomunikasi dengan Allah SWT agar tetap terus mampu menjalankan ketaatan atau melaporkan rintangan dan bencana fisik/batin yang menimpa saat menjalankan ketaatan ketaatan tersebut.

Wallahu A’lam Wallahu Musta’an.

Mensyukuri Nikmat Al-Quran

Allah berfirman dalam surat At-Takatsur ayat 8 :

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

(kemudian kamu akan ditanya terhadap setiap nikmat yang kamu dapatkan)

Definisi Syukur.  Secara bahasa makna syukur adalah menampakkan dan memuji. Secara makna, Imam Al-Qosimy menjelaskan : “ Tidaklah seorang hamba disebut bersyukur kepada tuannya kecuali menggunakan nikmat tersebut terhadap hal hal yang menyenangkan tuannya atau menggunakannya dalam rangka beribadah kepadanya bukan untuk kemauan pribadinya. Sebaliknya apabila dia menggunakannya pada hal hal yang dibenci tuannya maka sesungguhnya dia kufur nikmat” (dari kitab Mauidzotul Mu’min min Ihya Ulumddin)

Bentuk Syukur. Dzun Nun al Mishri mengatakan bahwa bentuk syukur itu adalah : “kepada atasan adalah dengan taat kepadanya, kepada yang sederajad adalah dengan perlakuan setara dan kepada yang lebih rendah adalah dengan balasan yang lebih baik dan penghormatan” (dari kitab taqarub ilallah : fauzi sinurqoth)

Petunjuk Allah berupa kitab suci adalah nikmat Allah sebagaimana yang disiratkan dalam surat Al-Baqarah 211 :

سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ آتَيْنَاهُم مِّنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ وَمَن يُبَدِّلْ نِعْمَةَ اللّهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُ فَإِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya : “Tanyakanlah kepada Bani Israel: “Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka. Dan barang siapa yang menukar ni`mat Allah setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.”  Makna nikmat di ayat tersebut adalah kitab Allah yaitu Taurat dan Injil (Tafsir Ma’alim Tanzil – Baghawy dll)

Karenanya Al-Quran  adalah nikmat Allah bahkan sebesar besar nikmat Allah bagi manusia di dunia ini. Tentang kegunaan Al-Quran bagi manusia, Allah berfirman dalam QS Yunus 57 :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Selama ini kita telah mengkufurni nikmat AlQuran dengan cara tidak menjadikan dia sebagai penyembuh bagi penyakit di dada kita sekaligus tidak menggunakannya sebagai petunjuk dalam kehidupan kita. Kita memilih jalan mengenyampingkan Al-Quran dan membuat aturan aturan lain serta metode metode penyebuhan jiwa yang tidak sesuai dengan Al-Quran. Kita pergunakan teori ekonomi kapitalis liberalis atau susun sendiri yang namanya ekonomi kerakyatan seraya mengesampingkan bagaimana AlQuran mengatur masalah ekonomi. Kita pergunakan teori trias politika, demokrasi, HAM untuk membuat undang undang seraya mengabaikan AlQuran sebagai satu satunya acuan dalam membuat undang undang padahal Allah SWT mengancam : “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang kafir” (QS 5:44), atau “dzolim” (QS 5:45) atau “fasik” (QS 5:47).

Kita benar benar telah menguras habis energi otak kita untuk merumuskan filsafat filsafat yang sekedar angan angan,  kita menghabiskan trilliunan rupiah untuk pilpres, pilkada dll guna memilih pemimpin yang akan membuat dan menjalankan hukum yang sesuai dengan kemauan manusia yang justru terbukti mencelakakan manusia. Kita habiskan energi untuk mendengarkan dan membaca berita perdebatan di parlemen untuk membuat undang undang plus friksi dan berita berita korupsi yang menyertainya. Kita ibarat anak kecil hendak membuat aturan main sendiri tanpa didampingi orang tua maka sering permainan itu mencelakakan mereka sendiri. demikian juga manusia yang paling pintar sekalipun tanpa di dampingi oleh yang Maha Pintar maka akhirnya justru akan mencelakakan sendiri.

Hukum diAl-Quran sudah sangat jelas dan mudah dibaca kemauannya secara general ataupun secara spesifik. yang dibutuhkan kita adalah keimanan terhadap perintah Allah serta kepasrahan bahwa kita manusia adalah makhluq bodoh dan lemah dan hanya Allah SWT yang Maha Sempurna dan Maha Tahu bagaimana cara mengatur kehidupan manusia. Hukum Islam itu irit energi, irit otak, irit waktu tapi sudah pasti maknyus & cespleng menyelesaikan segala persoalan manusia

Wallahu A’lam, Wallahu Musta’an

Bagaimana Hidup dan Berjuang di Indonesia

download file : Bagaimana Hidup dan Berjuang di Indonesia.docx

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” (QS 13:11)

Abstrak : Ada dua kubu pada umat Islam dalam memahami dan menganalisa keadaan Indonesia saat ini. Satu pihak memahami bahwa  Indonesia adalah Darul Islam kemudian mengambil sikap berlebihan dalam kepatuhan serta memeliharanya dan penguasanya, sementara satu pihak lainnya memahami bahwa Indonesia adalah darul kufur yang pemerintahannya tidak perlu ditaati bahkan harus dimusuhi sebab dia bukan ulil amri. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan realita hukum, pemerintahan serta sosiologis masyarakat Indonesia secara adil dan menyajikan bagaimana harusnya hidup dan berjuang di negeri Indonesia melalui analisa kehidupan Rasulullah SAW di Makkah

Contents

1)      Realitas Kehidupan di Negeri Negeri Islam Saat Ini

a.  Keinginan masyarakat untuk menerapkan syariat Islam..

b.  Kategorisasi Darul Islam dan Darul Kufur.

c.   Penerapan Sistem Demokrasi adalah indikasi status Darul Kufur suatu Negara.

d.  Bila Indonesia adalah Darul Kufur apakah warganya berstatus kafir semua ?.

e.  Apakah terlibat sistem pemerintahan kufur menyebabkan kafir / murtad ?.

f.   Thoghut di Indonesia.

g.  Apakah pemerintah Indonesia dan negeri muslim lainnya bisa disebut Ulil Amri ?.

h.  Peluang dan Bahaya di dalam Parlemen/DPR.

2)      Tugas mulia untuk mewujudkan kembali Daulah Khilafah.

a.  Agama adalah saudara kembar kekuasaan.

b.  Bencana karena tiadanya daulah khilafah.

c.   Kafirkah mengingkari kewajiban menegakkan Khilafah ?.

d.  Tidakkah kita bersyukur dengan keadaan Negara saat ini ?.

3)      Metodologi/Manhaj yang Benar dalam mewujudkan Khilafah.

a.  Periode Makkah  vs Kesempurnaan Hukum Islam..

b.  Pentingnya menyadari dan memahami manhaj pada periode mekkah.

c.   Sekilas tentang manhaj nabi dalam merubah masyarakat.

d.  Beda antara Metode dengan Karakteristik Dakwah.

e.  Merebut kekuasaan dengan pedang ?.

f.   Memperbaiki umat lewat jalur Pendidikan.

4)      Jihad Fii Sabilillah, Jalan Membentuk Daulah Islam ?.

a.  Merebut Darul Islam yang baru dikuasai Tentara Darul Kufur.

b.  Berjihad pada negeri Islam yang dikuasai Tentara Kufur.

c.   Darul Islam yang berubah menjadi Darul Kufur karena perubahan pemikiran.

d.  Memerangi Kaum Munafiq.

e.  Mana duluan ?  aqidah atau jihad atau menyerukan Khilafah dulu ?.

Continue reading